Oleh: Umar Abidin, SHI
Latar Belakang Permasalahan
Perkawinan merupakan suatu kontrak sosial antar seorang laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama tanpa dibatasi oleh waktu tertentu. Dalam Islam, pemberian maskawin merupakan kewajiban yang harus dibayar oleh seorang laki-laki yang menyatakan kesediaannya untuk menjadi suami dari seorang perempuan.
Pada kenyataannya, terutama pada kalangan masyarakat awam sebagian masih banyak yang belum mengerti hakikat dari pemberian maskawin. Diantara mereka beranggapan maskawin atau mahar hanyalah pelengkap sebuah ritual akad nikah semata, kendati mereka menganggap hal ini wajib atau harus diadakan.
Oleh karena itu tak sedikit orang membedakan antara maskawin atau mahar dengan adat bawaan (gawan[1], istilah Jawa). Jika maskawin diberikan oleh seorang laki-laki kepada seorang perempuan yang akan dinikahinya, maka gawan juga diberikan sebagaimana halnya maskawin, tetapi sudah menjadi kebiasaan atau tradisi bahwa gawan itu diberikan kepada calon isteri biasanya berupa perhiasan emas (kalung, cincin, gelang dll) yang bisa diminta kembali atau selayaknya ia yakini harus dikembalikan kepada laki-laki yang akan atau telah menikahinya jika dikemudian hari terpaksa harus batal menikah atau bercerai.
Sebagai kebiasaan yang perlu dikritisi, di kalangan masyarakat menjadikan barang yang aneh atau unik sebagaimana cendera mata atau sekedar kenang-kenangan bahkan tidak boleh dimanfaatkan biasa dijadikan sebagai maskawin, padahal nilainya tak seberapa jika dibandingkan dengan kemampuan orang tersebut untuk memberikan sesuatu kepada perempuan yang akan dinikahinya. Seperti sejumlah uang sebesar angka kelahiran mereka, dihias dan ditata sedemikian rupa, uang kuno yang sudah tak ada nilainya dan seperangkat alat shalat juga menjadi kebiasaan yang hanya sekedar meniru kebanyakan orang. Padahal untukgawan saja, ia lebih besar dari itu, misalnya perhiasan emas 10 gram. Hal ini tidak sesuai dengan maksud dan tujuan disyari’atkannya maskawin dalam perkawinan.
Hal inilah yang harus diluruskan untuk lebih bisa menjadikan arti sebuah perkawinan yang bertanggungjawab bisa tercapai, jadi bukan sekedar kontrak sosial tanpa makna, karena hakikat perkawinan adalah untuk bisa hidup bersama sebagai satu kesatuan yang utuh, yang didalamnya harus saling melengkapi, saling memberi dan menerima. Maskawin dalam hal ini adalah pemberian awal sebagi bentuk kesungguhan atau tanggungjawab seorang laki-laki kepada isterinya.
Dengan adanya tradisi atau adat pemberian yang sudah berkembang di dalam masyarakat tersebut, terdapat pertanyaan bagaimana kedudukan adat pemberian dalam perkawinan ditinjau dari hukum Islam terkait dengan disyari’atkannya maskawin? Dalam bab-bab berikut akan kami uraikan hal-hal yang berkaitan dengan mahar atau maskawin agar pemahaman tentang maskawin tidak sesempit atau hanya sekedar menjadi pelengkap dalam ritual perkawinan.
Sesuai dengan latar belakang permasalahan diatas, tujuan dari tulisan ini adalah untuk menjelaskan bagaimana kedudukan adat pemberian dalam perkawinan yang berkembang di masyarakat menurut hukum Islam terkait dengan disyariatkannya maskawin. Dengan adanya pemahaman masyarakat secara jelas terhadap kedudukan maskawin dalam perkawinan, maka diharapkan persoalan maskawin bisa menjadi lebih mendapat perhatian yang semestinya, bukan hanya sekadar menjadi pelengkap perkawinan belaka.
KONSEPSI HUKUM ISLAM TENTANG MASKAWIN
A. Pengertian Maskawin
Maskawin atau mahar adalah pemberian pihak pengantin laki-laki (misal emas, barang, kitab suci) kepada pengantin perempuan pada waktu akad nikah, dapat diberikan secara kontan ataupun secara hutang.[2] Mahar merupakan sesuatu yang pantas diterima oleh seorang wanita, karena mahar itu sebagai hadiah yang ikhlas. Sedangkan hadiah dapat mengukuhkan dan menguatkan kasih sayang dan rasa cinta.[3]
Dalam Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pengertian mahar adalah “pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam”.[4]
Di dalam Al-Quran istilah maskawin disebut dengan al-sadaq, al-saduqah, al-nihlah, al-ajr danal-faridah. Disebut dengan mahar yang secara bahasa berarti pandai, mahir, karena dengan menikah dan membayar maskawin, pada hakikatnya laki-laki tersebut sudah pandai dan mahir, baik dalam urusan rumah tangga ataupun dalam membagi waktu, uang dan perhatian. Disebutshadaq yang secara bahasa berarti jujur, lantaran dengan membayar maskawin mengisyaratkan kejujuran dan kesungguhan si laki-laki untuk menikahi wanita tersebut. Disebut denganfaridhah yang secara bahasa berarti kewajiban, karena maskawin merupakan kewajiban seorang laki-laki yang hendak menikahi seorang perempuan. Dan dikatakan dengan istilah ajranyang secara bahasa berarti upah, lantaran dengan maskawin sebagai upah atau ongkos untuk dapat menggauli isterinya secara halal.[5]
Dari beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maskawin atau mahar adalah suatu pemberian wajib dari seorang mempelai pria kepada mempelai perempuan baik berupa barang, uang atau jasa menurut kerelaan dan kesepakatan kedua pihak sebagai pengganti dalam sebuah pernikahan dan sebagai bentuk kesungguhan untuk menjalani kehidupan rumah tangga diantara keduanya.
B. Hukum Memberikan Maskawin
Calon mempelai pria wajib membayar maskawin atau mahar kepada calon mempelai perempuan dalam jumlah, bentuk dan jenis sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.[6] Bahkan para ahli fiqh sependapat bahwa maskawin itu termasuk syarat sahnya nikah, dan tidak boleh diadakan persetujuan untuk meniadakannya[7], baik maskawin itu disebutkan atau tidak disebutkan pada waktu akad nikah. Jika maskawin tidak disebutkan pada waktu akad nikah, maka suami harus membayar mahar mitsil, yaitu maskawin yang diterima oleh perempuan sesuai dengan jumlah, jenis dan bentuk sebagaimana maskawin yang diterima oleh perempuan lain yang sepadan dengannya.
Adapun dasar dari wajibnya maskawin adalah firman Allah SWT dalam Surat An-Nisa ayat 4 :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \’s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D . )النسآء : ٤).
Artinya: “Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa: 4).[8]
dan Surat An-Nisa ayat 25 :
£`èdqßsÅ3R$$sù ÈbøÎ*Î/ £`ÎgÎ=÷dr& Æèdqè?#uäur £`èduqã_é& Å$rá÷èyJø9$$Î/ )النسآء : ٢٥).
Artinya: “karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka, dan berilah maskawin mereka menurut yang patut.” (Q.S. An-Nisa: 25).[9]
Karena penting dan wajibnya maskawin dalam pernikahan, maka jika seorang laki-laki hendak menikahi seorang perempuan betapapun miskinnya laki-laki tersebut, ia tetap wajib memberikan maskawin, dan jika ternyata benar-benar tidak punya apa-apa, kemampuan atau jasa yang dimiliki oleh seorang laki-laki boleh dijadikan sebagai maskawin. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad SAW:
حَدَّثَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ قَالَ أَتَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ امْرَأَةٌ فَقَالَتْ إِنَّهَا قَدْ وَهَبَتْ نَفْسَهَا لِلَّهِ وَلِرَسُولِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا لِي فِي النِّسَاءِ مِنْ حَاجَةٍ فَقَالَ رَجُلٌ زَوِّجْنِيهَا قَالَ أَعْطِهَا ثَوْبًا قَالَ لَا أَجِدُ قَالَ أَعْطِهَا وَلَوْ خَاتَمًا مِنْ حَدِيدٍ فَاعْتَلَّ لَهُ فَقَالَ مَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ كَذَا وَكَذَا قَالَ فَقَدْ زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنْ الْقُرْآنِ[10]. )رواه البخارى).
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Amru bin ‘Aun telah menceritakan kepada kami Hammad dari Abu Hazim dari Sahl bin Sa’d ia berkata: Seorang wanita mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata bahwasanya, ia telah menyerahkan dirinya untuk Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau bersabda: Aku tidak berhasrat terhadap wanita itu. Tiba-tiba seorang laki-laki berkata: “Nikahkanlah aku dengannya”. Beliau bersabda: “Berikanlah mahar (berupa) pakaian padanya”. Laki-laki itu berkata: “Aku tidak punya”. Beliau pun bersabda kembali: “Berikanlah meskipun hanya berupa cincin besi. Ternyata ia pun tak punya. Kemudian beliau bertanya: “Apakah kamu memiliki hafalan Al Qur`an?” Laki-laki itu menjawab: “ Ya, surat ini dan ini”. Maka beliau bersabda: “Aku telah menikahkanmu dengan wanita itu, dengan mahar hafalan Al Qur`anmu.” (H.R. Al-Bukhari).
C. Bentuk-bentuk Maskawin
Adapun sesuatu yang dapat dijadikan sebagai maskawin adalah sebagai berikut:
- Sesuatu yang dapat dimiliki dan dapat dijadikan pengganti (bisa berfungsi sebagai nilai tukar) dengan syarat halal, suci, dapat dimanfaatkan dan dapat diserahkan.[11]
Hal ini didasarkan kepada ayat berikut ini:
¨@Ïmé&ur Nä3s9 $¨B uä!#uur öNà6Ï9ºs br& (#qäótFö6s? Nä3Ï9ºuqøBr’Î/ tûüÏYÅÁøtC uöxî úüÅsÏÿ»|¡ãB 4 )النسآء : ٢٤).
Artinya: “Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina”. (Q.S. An-Nisa: 24). [12]
Kata amwal dalam ayat di atas dipahami oleh para ulama sebagai maskawin, mahar.
- Pekerjaan yang dapat diupahkan.
Menurut Imam Malik, Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad dalam salah satu riwayatnya membolehkan jasa mengajarkan Al-Qur’an sebagai maskawin.[13] Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut:
tA$s% þÎoTÎ) ßÍé& ÷br& y7ysÅ3Ré& y÷nÎ) ¢ÓtLuZö/$# Èû÷ütG»yd #n?tã br& ÎTtã_ù’s? zÓÍ_»yJrO 8kyfÏm ( ÷bÎ*sù |MôJyJø?r& #\ô±tã ô`ÏJsù x8ÏZÏã ( !$tBur ßÍé& ÷br& ¨,ä©r& øn=tã 4 . (القصص: ٢٧).
Artinya: “Berkatalah Dia (Syu’aib): “Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun, maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu.” (Q.S. Al-Qashash: 27).[14]
Ayat ini menerangkan ketika Nabi Musa menikahi salah seorang gadis laki-laki tua (dalam satu riwayat dikatakan laki-laki tua itu adalah Nabi Syuaib), dengan maskawin bekerja untuk laki-laki tua itu (calon mertuanya) selama delapan tahun.
Adapun dasar dari hadits tentang bolehnya jasa atau kerja dijadikan sebagai maskawin adalah sebagaimana hadits riwayat Imam Al-Bukhari diatas. Akan tetapi Imam Malik memakruhkan upah atau jasa sebagai maskawin, sedangkan Imam Hanafi melarang kawin dengan upah kecuali hamba sahaya.[15]
- Membebaskan budak.
Sebagian para ulama membolehkan pembebasan budak sebagai maskawin, yang didasarkan oleh sebuah hadits dikatakan bahwa Rasulullah SAW menikahi Shafiyyah dengan maskawin membebaskannya dari budak belian menjadi seorang yang merdeka dan dalam hadits tersebut tidak ada keterangan bahwa hal itu khusus untuk Rasulullah SAW. Karena tidak ada keterangan kekhususan itulah, maka ia berarti berlaku dan diperbolehkan juga untuk seluruh ummatnya. Hadits dimaksud adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ صُهَيْبٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَبَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَفِيَّةَ فَأَعْتَقَهَا وَتَزَوَّجَهَا فَقَالَ ثَابِتٌ لِأَنَسٍ مَا أَصْدَقَهَا قَالَ أَصْدَقَهَا نَفْسَهَا فَأَعْتَقَهَا[16]. (رواه البخارى).
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Adam telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Abdul ‘Aziz bin Shuhaib ia berkata: “Aku mendengar Anas bin Malik radliallahu ‘anhu berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menawan Shafiyyah lalu membebaskannya kemudian menikahinya. Tsabit bertanya kepada Anas: “Apa maharnya?” Anas menjawab: “Maharnya adalah dirinya”, lalu beliau memerdekakannya.” (H.R. Al-Bukhari)
Sedangkan bagi yang menolak mengatakan bahwa maskawin dengan membebaskan budak itu hanya dikhususkan bagi Rasulullah SAW saja dan tidak yang lainnya.
4. Masuk Islam.
Keislaman seseorang dapat dijadikan sebagai maskawin dalam perkawinan, kendati ada perbedaan pendapat dari para ulama. Sebagaimana hadits dari Anas tentang masuk Islamnya Abu Thalhah yang menikahi Ummu Sulaim yang dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam kitabnya, Fiqh Sunnah. Disebutkan bahwa Ummu Sulaim berkata: “Demi Allah…, orang seperti Anda tak patut ditolak lamarannya…, tetapi Anda orang kafir sedangkan saya orang Islam. Saya tidak halal dengan Anda. Jika Anda mau masuk Islam itu jadi maharnya. Dan saya tidak meminta kepada Anda sesuatu yang lain.” Maka jadilah keislaman Abu Thalhah itu sebagai maskawinnya.[17]
D. Kadar Maskawin yang harus diberikan
Pada dasarnya, Islam tidak menetapkan jumlah minimal dan jumlah maksimal seseorang memberikan maskawin, tidak ada batasan yang harus ditentukan. Karena adanya perbedaan kaya dan miskin, lapang dan sempitnya rizki masing-masing orang berbeda. Selain itu setiap masyarakat mempunyai adat dan tradisinya sendiri.
Karena itu masalah jenis dan jumlah mahar diserahkan kepada kemampuan, keadaan dan tradisi mereka. Jadi boleh memberi maskawin dengan uang, cincin besi, mengajarkan ayat-ayat Al-Qur’an dan sebagainya yang penting adanya kesepakatan dari kedua belah pihak yang melakukan aqad nikah.[18]
Dalil yang dijadikan dasar tidak ada batas minimal dalam maskawin ini adalah keumuman ayat“dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari isteri-isteri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina” (QS. An-Nisa: 24) sebagaimana tersebut diatas.
Kata amwal yang artinya “harta” dalam ayat di atas mencakup harta yang sedikit juga harta yang banyak, tidak disebutkan berapa batasan minimal dan maksimal maskawin, karena itulah, maka boleh dengan berapa saja selama ada keridlaan dari si calon isteri.
Dalam hadits riwayat Al-Bukhari sebagaimana telah disebutkan diatas: “berikanlah meskipun hanya berupa cincin besi”, disini tegas bahwa mahar boleh dengan apa saja selama ia berupa harta sekalipun berupa cincin besi.
Namun demikian, dalam memahami persoalan kadar banyak-sediktitnya maskawin, para ulama terjadi perbedaan pendapat tentang batasan besaran maskawin. Asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan Tabi’in berpendapat tidak ada batasan maskawin, segala sesuatu yang menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan maskawin. Sedangkan Malik dan Abu Hanifah memberikan batas minimal maskawin, yaitu tiga dirham menurut riwayat yang terkenal dari Malik dan sepuluh dirham menurut Abu Hanifah. Demikian disebutkan dalamBidayatul Mujtahid.[19]
E. Maskawin Penuh dan Maskawin Setengahnya
Seorang isteri menerima maskawin penuh dalam keadaan sebagai berikut:
- Apabila benar-benar sudah disenggamai
Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT sebagai berikut:
÷bÎ)ur ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry c%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù (#räè{ù’s? çm÷ZÏB $º«øx© 4. (النسآء : ٢٠).
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun.” (Q.S. An-Nisa: 20).[20]
Dan firman-Nya:
y#øx.ur ¼çmtRräè{ù’s? ôs%ur 4Ó|Óøùr& öNà6àÒ÷èt/ 4n<Î) <Ù÷èt/ cõyzr&ur Nà6ZÏB $¸)»sVÏiB $ZàÎ=xî . (النسآء : ٢١).
Artinya: “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (Q.S. An-Nisa: 21).[21]
Para ulama sebagimana disebutkan Ibnu Rusyd,[22] sependapat bahwa melunasi maskawin penuh menjadi wajib dengan terjadinya persenggamaan (dukhul) antara suami isteri.
- Apabila seorang dari suami-isteri meninggal dunia sebelum bersenggama
Ketentuan ini sudah menjadi ijma’ ulama, bahwa maskawin yang telah dijanjikan wajib dibayarkan bila suami-isteri sudah tinggal menyendiri dalam pengertian yang sebenarnya, berada di suatu tempat yang aman dari penglihatan orang lain dan tak ada halangan hukum untuk melakukan persetubuhan, seperti salah seorang sedang puasa wajib atau sedang haid. Atau halangan karena emosi seperti salah seorang menderita sakit sehingga tidak bisa melakukan persenggamaan yang wajar, atau karena adanya halangan yang bersifat alamiah seperti ada orang ketiga disamping mereka.[23]
Seorang isteri hanya berhak menerima maskawin separuh dari jumlah yang telah dijanjikan apabila ia diceraikan oleh suaminya sebelum terjadi persenggamaan diantara mereka berdua, sebagimana firman Allah SWT :
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù .(البقرة: ٢٣٧)
Artinya: “Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu.” (Q.S. Al-Baqarah: 237).[24]
ANALISA TENTANG ADAT PEMBERIAN DALAM PEKAWINAN MENURUT HUKUM ISLAM
Dalam tradisi yang berkembang di masyarakat, khususnya di Jawa Tengah sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan bahwa istilah gawan atau bawaan atau pemberian dari seorang laki-laki kepada calon istrinya merupakan hal yang banyak dilakukan sebagai sebuah keharusan. Gawan,dalam prakteknya biasanya jenis dan kadarnya tidak sama, bergantung pada tingkat sosial dan ekonomi para pihak yang berkepentingan. Gawan biasanya dalam bentuk perhiasan emas. Selaingawan, dari keluarga calon mempelai laki-laki juga membawa barang-barang bawaan keperluan resepsi berupa uang, makanan, peralatan dapur dan kebutuhan pakaian calon isteri yang dalam istilah bahasa Jawa adalah mbesan atau serah-serahan.
Hal ini baik mbesan maupun gawan, yang kedua-duanya merupakan pemberian dari pihak keluarga putra (calon suami), sudah maklum diketahui oleh kedua belah pihak keluarga masing-masing, menjadi semacam etika untuk memulai pembentukan rumah tangga baru. Dan dari keluarga calon istri juga biasanya sudah menghitung “untung rugi” untuk mengadakan resepsi pernikahan dengan harapan akan mendapatkan sesuatu sebagai bantuan (istilah Jawa, serah-serahan). Dari calon istri sendiri biasanya juga sudah diberikan pengertian dari orang tua maupun famili dekatnya bahwa ia akan segera menerima gawan dan serah-serahan tersebut, walaupun ia belum tahu apa saja dan berapa yang akan ia terima.
Sehingga jika hal ini tidak dilakukan oleh seorang calon suami dan keluarganya, dalam arti suami tidak mempersiapkan pemberian sebagai gawan maupun serah-serahan atau mbesan dari keluarganya, pihak keluarga calon suami biasanya akan menjadi bahan gunjingan di masyarakat.
Sebagai contoh kerabat penulis dari daerah yang berbeda dan mempunyai tradisi perkawinan yang berbeda (Jawa Timur) juga sempat mengalami “kecele”, karena sebagai keluarga calon istri, yang sudah “mengharap” sesuatu dari calon pengantin pria-nya yang dari Jawa Timur, ternyata dugaan itu salah, bahwa di daerah calon pengantin pria tidak berlaku adat gawan ataumbesan sebagaimana penulis kemukakan di atas.
Tradisi pemberian dalam perkawinan ini bukannya jelek ataupun bertentangan dengan tujuan perkawinan yang ingin membentuk keluarga yang tentram, sakinah, mawaddah wa rahmah, yang menjadikan pasangan suami istri melakukan hak dan tanggungjawabnya. Bahkan tradisi ini menemukan pijakannya sebagai etika sosial untuk memulai menjalani rumah tangga yang baru yang harus berhati hati dan penuh tanggungjawab bagi masing-masing pasangan untuk samksimal mungkin mengabdikan dirinya dalam “surga” rumah tangga.
Hanya saja yang perlu mendapatkan perhatian khusus adalah masalah pemberian sebagai mahar, apakah gawan sebagaimana yang penulis terangkan diatas bisa disamakan dengan mahar? Bagaimana kedudukan adat pemberian berupa gawan ini ditinjau dari hokum syari’at Islam? Ternyata tidak sepenuhnya bisa, tetapi esensi pemberian itu adalah sama, yaitu sama-sama pemberian dari calon suami kepada calon istri agar menjadi miliknya yang tidak dapat diambil kembali. Kalau dalam istilah gawan, sang suami atau keluarganya atau kedua belah pihak punya pengertian yang lebih jauh untuk waktu yang akan datang sebagai semacam jaminan, bahwagawan suatu saat ‘harus’ dikembalikan (baik separo maupun seutuhnya) kepada sang mantan suami manakala suami-istri itu berpisah atau bercerai. Sehingga hal ini yang menjadikan perbedaan atau pemisahan antara pemberian maskawin (mahar) dan pemberian gawan. Sudah menjadi tradisi kalau maskawin diberikan hanyalah sekedar sedikit benda berharga atau uang, yang jumlahnya jauh lebih sedikit disbanding dengan gawan. Jika calon suami memberi maskawin sudah tahu tidak dapat diambil kembali, akan tetapi kalau gawan seberapapun besarnya ia punya harapan untuk kembali sebagaimana jaminan yang dititipkan kepada istri jika suatu saat kelak perkaiwan tak dapat bertahan dan berakhir dengan perceraian.
Pemahaman inilah yang perlu dikritisi, bahwa ternyata etika gawan tidak murni sebagai pemberian. Kesan bahwa gawan sebagai semacam jaminan yang sewaktu-waktu dapat diambil kembali merupakan suatu hal yang patut mendapat pertimbangan untuk mencoba diluruskan. Akan lebih baik jika pemberian yang dimaksudkan sebagai gawan dijadikan (diikhlaskan) sebagai maskawin yang permanen, yang menjadi hak penuh istri.
Memperhatikan dua ayat diatas (Q.S. An-Nisa: 4 dan Q.S. An-Nisa: 24) yang mewajibkan pemberian maskawin bagi laki-laki kepada perempuan pilihannya sebagai pemberian penuh kerelaan tanpa tendensi dan pamrih. Kemudian jika perempuan tersebut memberikan sebagian maskawin itu setelah ia miliki tanpa paksaan sedikit pun atau pun merasa malu dan tertipu maka terima dan ambillah itu sebagai anugerah bukan dianggap sebagai suatu hal yang menyedihkan atau suatu kesalahan. [25]
Jika hal ini dikaitkan dengan adat pemberian berupa gawan atau apapun bentuknya, kemudian kita gabungkan keduanya (maskawin dan gawan) agar mencapai titik temu, maka dapat dikatakan bahwa maskawin merupakan pemberian yang wajib dikarenakan halalnya hubungan suami-istri, diberikan secara suka rela. Sedangkan gawan diberikan oleh calon laki-laki kepada perempuan yangakan dijadikan sebagai isterinya namun dengan persyaratan tertentu, yang berarti pemberian itu tidak murni dan tidak mutlak sebuah pemberian, dengan kata lain tanpa kerelaan penuh. Oleh karena itu kedua pemberian tersebut sangat berbeda baik dari sisi hukum memberikannya maupun akibatnya.
Nilai yang agung dari makna ayat di atas terkait dengan maskawin adalah memberikan kelapangan kepada wanita jika ia mau memberikan atau mempersilahkan untuk ikut menikmati lagi kepada suaminya, maka hal ini menggambarkan tatanan rumah tangga yang tingkat kerjasamanya dan eratnya hubungan mereka sangat baik. Sehingga jika dalam gawan, sang suami mengharapkan kembali jika ia bercerai atau tidak jadi menikah, tetapi Islam justru memulainya ketika mereka tinggal bersama sebagai suami-istri. Sang suami boleh memakan atau menerima kembali atas kerelaan istri tanpa ada citra yang kurang baik. Nilai yang ‘agung’ disini adalah ketika suami memberikan maskawin dengan keikhlasan penuh tanpa berharap kembali, tetapi disaat yang sama ia masih ada kesempatan baginya menikmati harta (maskawin) itu jika istrinya menyerahkan lagi sebagiannya, maka suamai pun boleh untuk menerimanya dan menikmatinya.
Kemudian terkait dengan kewajiban setengah mahar yang harus diserahkan dikarenakan terjadi perceraian sebelum dukhul ( Q.S. Al-Baqarah: 237) maka hal ini sebagai ‘harga’ yang sangat mulia sebuah “persenggamaan”, dimana seorang perempuan hanya mendapatkan setengah dari maskawin yang telah ia janjikan jika belum “disentuh”. Dari pemahaman ini diperoleh rasa keadilan antara laki-laki dan perempuan tersebut, dari sisi perempuan itu berarti penghormatan akan “persetubuhan”, dan dari sisi laki-laki tersebut terasa tidak memberatkan karena terjadinya talak sehingga ia hanya memberikan setengah dari maskawin yang ia rencanakan.
Hal ini berbeda dengan gawan yang memang dari awal mulai merencanakan sebuah perkawinan sudah ada semacam ‘akad tersembunyi’ dimana gawan diserahkan memang tidak murni pemberian, tetapi ia diberikan dengan syarat tertentu berseberangan dengan etika Islam yaitu adanya azas kerelaan dan nilai ibadah.
Dengan penjelasan tersebut, menurut penulis, pemahaman maskawin yang sesuai dengan tujuan syari’at Islam (maqashi al-syar’i) perlu disosialisasikan kepada masyarakat secara umum agar tradisi atau adat pemberian beupa gawan yang sudah berkembang di sebagian masyarakat segera diubah pengertiannya, sehingga tidak ada tendensi dan kepentingan tertentu dalam pemberian terkait suatu perkawinan.
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Adat yang berkembang pada sebagian mayarakat tentang pemberian dalam perkawinan berupagawan merupakan pemberian calon suami kepada calon isteri, dengan harapan jika suatu saat ternyata perkawinan batal atau terjadi perceraian, pemberian semacam ini diambil kembali. Sedangkan maskawin atau mahar adalah pemberian wajib dari mempelai laki-laki kepada mempelai perempuan disebabkan karena adanya hubungan pernikahan. Oleh karenanya maskawin yang telah diterima menjadi hak penuh bagi perempuan tersebut dan tidak boleh diminta kembali oleh laki-laki calon suami/suaminya, kecuali atas kerelaan isteri jika ia memberikan kepada suaminya, maka suami boleh memanfaatkan pemberian tersebut.
Dari kedua macam pemberian tersebut perlu adanya pengubahan pola pikir, karena sebagian masyarakat masih memandang maskawin hanya sebagai pelengkap saja, terbukti masih kurangnya perhatian terhadap maskawin itu disyari’atkan, sehingga pemberian maskawin lebih sedikit daripada gawan atau adat pemberian yang sudah berkembang itu.
Dengan pemahaman yang cukup terhadap hakikat, makna, dan tujuan dari disyari’atkannya maskawin, masyarakat akan dengan sendirinya “memadukan” maskawin dengan gawan, atau bahkan menghilangkan sama sekali adat pemberian berupa gawan yang sifat dan karakternya tidak sesuai dengan syari’at maskawin sekaligus memberikan perhatian yang besar terhadap maskawin.
B. Saran-saran
B. Saran-saran
- Bagi masyarakat Islam hendaknya lebih memperluas pemahaman mengenai hakikat ajaran Islam tentang pemberian maskawin agar permasalahan maskawin didudukan sebagaimana mestinya.
- Bagi laki-laki yang akan menikah, hendaknya memberikan maskawin sesuai ketentuan agama menurut kemampuannya dan tidak memisahkan antara maskawin dan gawandengan cara meleburkan keduanya untuk dijadikan sebagai maskawin saja.
- Bagi tokoh masyarakat, para ulama, muballigh, penghulu, penyuluh dan petugas terkait yang lebih memahami tentang hukum munakahat, diharapkan untuk bisa mensosialisasikan atau mendakwahkan kepada masyarakat agar dapat mengamalkan hukum munakahat secara benar sehingga memberikan nilai positif dan lebih adil bagi keberlangsungan, kebahagiaan dan ketentraman rumah tangga.***
DAFTAR PUSTAKA
Al-Bukhari, Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il, Shohih Al-Bukhari (Juz III), Darul Kitab Al-Islamy, Beirut t.th.
Asy-Syafi’i, Muhammad bin Abdurrahman, Rohmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah, terj. Drs. Sarmin Syukur dan Dra. Luluk Rodliyah, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih para Mujtahid, terj. Drs. Imam Ghazali Said, MA dan Drs. Achmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2002.
Kisyik, Abdul Hamid, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, terj. Ida Nursida, Al-Bayan PT Mizan Pustaka, Bandung, Cet. IX, 2005.
Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2004.
Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, terj. Drs. Mohammad Thalib, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. XVI, t.th.
Soenarjo, R.H.A., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, Edisi Revisi 1994.
Sumber Internet:
http://www.indonesianschool.org/dialog/Mahar.pdf (diakses 05 September 2011).
http://www.kamusbesar.com (diakses 05 September 2011).
End Note:
[1] Istilah gawan biasa dipergunakan dalam masyarakat Jawa terhadap barang bawaan berupa perhiasan emas dari seorang laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan dan sudah menjadi maklum diantara mereka bahwa gawan itu menjadi hak calon isteri, namun jika perkawinan batal dilaksanakan atau terjadi perceraian diantara mereka, gawan segera dikembalikan kepada calon suami tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang masih memegang teguh prinsip seperti ini, biasanya gawan diberikan jauh lebih besar daripada maskawin. Gawanjuga berbeda dengan pemberian sebagai “tanda pengikat” pra pernikahan yang biasanya berupa perhiasan emas namun dalam kadar sedikit, dalam istilah Jawa biasa disebut denganpeningset. Jika peningset diberikan saat lamaran atau tunangan (khitbah), maka gawandiberikan saat mbesan (menyerahkan uang dan barang-barang keperluan resepsi pernikahan) sehari atau dua hari menjelang akad nikah.
[2] http://www.kamusbesar.com (diakses 05 September 2011).
[3] Abdul Hamid Kisyik, Bimbingan Islam untuk Mencapai Keluarga Sakinah, terj. Ida Nursida, Al-Bayan PT Mizan Pustaka, Bandung, Cet. IX, 2005, hal. 124.
[4] Kompilasi Hukum Islam, Pustaka Widyatama, Yogyakarta, 2004, hal. 9-10.
[5] http://www.indonesianschool.org/dialog/Mahar.pdf (diakses 05 September 2011).
[6] Kompilasi Hukum Islam, Op. Cit., hal. 21.
[7] Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqih para Mujtahid, terj. Drs. Imam Ghazali Said, MA dan Drs. Achmad Zaidun, Pustaka Amani, Jakarta, 2002, hal. 432.
[8] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Yayasan Penyelenggara Penerjemah Al-Qur’an Departemen Agama Republik Indonesia, Jakarta, Edisi Revisi 1994, hal. 115.
[9] Ibid., hal. 121.
[10] Abi Abdillah Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (selanjutnya disebut Al-Bukhari), Shohih Al-Bukhari, Darul Kitab Al-Islamy, Beirut (t.th) Juz III, hal. 232.
[11] Ibnu Rusyd, Op.Cit., hal. 438.
[12] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., Op.Cit., hal. 121.
[13] Muhammad bin Abdurrahman Asy-Syafi’i, Rohmatul Ummah fi Ikhtilafil A’immah, terj. Drs. Sarmin Syukur dan Dra. Luluk Rodliyah, Al-Ikhlas, Surabaya, 1993, hal. 370.
[14] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., Op.Cit., hal. 613.
[15] Ibnu Rusyd, Loc. Cit., hal. 438.
[16] Al-Bukhari, Op.Cit., hal. 49
[17] Sayyid Sabiq, Fiqhussunnah, terj. Drs. Mohammad Thalib, PT. Al-Ma’arif, Bandung, Cet. XVI, t.th, hal. 58.
[18] Ibid., hal. 55.
[19] Ibnu Rusyd, Op. Cit., hal. 432-438. Ibnu Rusyd merinci secara detail tentang pangkal silang pendapat ini disebabkan dua sebab. Pertama, ketidakjelasan akad nikah itu yang berfungsi sebagai sarana tukar menukar berdasarkan kerelaan menerima ganti, baik sedikit atau banyak seperti jual beli, dan fungsinya sebagai suatu ibadah, yang sudah ada ketentuannya. Ditinjau dari satu sisi, dengan maskawin, seorang laki-laki dapat memiliki “jasa” seorang wanita untuk selamanya, dengan demikian mirip dengan pertukaran. Disisi lain adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan maskawin, maskawin itu mirip dengan ibadah. Kedua, adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan maskawin dengan pengertian hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah bahwa pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuan-ketentuannya.
[20] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., Op. Cit., hal. 119.
[21] Ibid., hal. 120.
[22] Ibnu Rusyd, Op. Cit., hal. 442.
[23] Sayyid Sabiq, Op. Cit., hal. 65; Kompilasi Hukum Islam, Op.Cit.,hal.22.
[24] Prof. R.H.A. Soenarjo, S.H., Op. Cit., hal. 58.
[25] Abdul Hamid Kisyik, Loc.Cit.
Adat yang sudah melekat dalam masyarakat kayaknya sulit untuk di kasih pengertian, kecuali semua element dikumpulkan untuk menyepakatinya bahwasanya hal tersebut bukan suatu keharusan. Sosialisasi ini bisa dilakukan dalam forum seminar, penyuluhan dll, bahkan ketika setelah proses ijab. Masalah "gawan" itu diniati sebagai shadaqah untuk pihak keluarga perempuan, dan tidak ada niat untuk diminta/di ambil kembali ketika perkawinan tersebut kandas di tengah jalan. Pemberian berupa "gawan" tersebut dikembalikan kepada kemampuan dari pihak laki-laki yang bertujuan bukan untuk memperlihatkan/membanggakan strata sosialnya tapi lebih dari niat baik bershadaqah atau silatur rahim. Untuk gawan tersebut terkadang ada yang berasal dari partisipasi saudara, tetangga dan masyarakat. "Gawan" yang berupa perhiasan alangkah bijaknya dijadikan satu dengan mas kawin dan itu akan lebih membuat ritual yang sakral itu lebih mengena. Dan sebaik-baiknya perempuan adalah yang murah maharnya. Tks ....
BalasHapus