Laman

Teks berjalan

Selamat Datang di web blog KUA Kecamatan Pekuncen Kabupaten Banyumas Propinsi Jawa Tengah, dengan aplikasi SIMKAH kami terus mengembangkan mutu layanan menuju KUA berbasis IT # Biaya nikah di KUA GRATIS dan nikah di Luar KUA membayar Rp 600 rb, disetorkan ke Bank # Zona Integritas KUA: bebas gratifikasi dan korupsi, semua layanan di KUA Pekuncen GRATIS#

Senin, 25 Mei 2015

Menjadi Suami Idaman dalam Keluarga


Sudah menjadi fitrah manusia bahwa hidup ini berpasang-pasangan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat Ar-Rum ayat 21, bahwa diciptakannya setiap diri manusia secara berpasang-pasangan untuk mencapai ketenangan (sakinah) dalam hidup mereka. Untuk itu, dalam keluarga yang terdiri dari suami dan isteri serta anak-anak mereka tak pelak haruslah dijaga keharmonisan dalam bangunan rumah tangganya agar suasana sejuk, harmonis dan tenteram selalu terwujud dan dirasakan oleh masing-masing anggota keluarga tersebut. Posisi suami sebagai seorang pemimpin di dalam keluarga sangat strategis untuk dapat berperan mewujudkan ‘impian’ rumah tangga ideal tersebut.  Berikut ini beberapa hal terkait dengan peran suami untuk mewujudkan keluarga sakinah.

     1.  Jadilah suami yang shalih
Suami yang shalih selalu menjadi idaman bagi setiap perempuan yang shalihah. Menjadi suami yang shalih tidaklah otomatis datang begitu saja, namun ia hadir menjelma dalam diri seorang pria dengan segala pengetahuan, pengalaman hidup, sifat dan lingkungannya sehingga ia mampu menjadi seorang suami yang dapat menjadi sosok wibawa sekaligus tawadlu dalam hidupnya. 
Suami yang shalih adalah suami yang selalu taat beribadah kepada Allah, mengutamakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa mengabaikan hak-hak isteri dan semua anggota keluarganya. Ia menjalankan amalan-amalan sunnah disamping melaksanakan rukun Islam yang wajib, mencurahkan hidupnya untuk berjuang di jalan Allah, baik melalui pendidikan agama bagi anak-anak, generasi muda dan masyarakat secara umum dalam rangka untuk penguatan keimanan dan ketaatan terhadap agama kepada mereka, maupun dalam hal pemberdayaan masyarakat dalam bidang positif lainnya yang kesemuanya ia laksanakan sebagai bentuk penghambaan kepada Allah swt secara ikhlas total tanpa tendensi kepentingan duniawi apapun.
Menjadi suami yang sibuk dengan kebaikan tanpa mengurangi hak-hak keluarganya memang sungguh bukan perkara yang mudah, akan tetapi minimal seorang suami mengerti akan tujuan hidupnya dan pertanggungjawabannya dihadapan Allah, dan bercita-cita untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh disertai dengan panjatan doa penuh harap kepada Allah swt, Sang Khaliq yang menciptakan segala-galanya dan menentukan nasib hamba-Nya.

2.  Mengerti akan kewajibannya
Kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan bathin kepada isteri dan anak-anaknya serta anggota keluarga lainnya dengan penuh keikhlasan semata-amat karena Allah swt.
Suami yang shalih akan membimbing isteri dalam hal ketaatan dan ibadah kepada Allah, karena suami sebagai pemimpian bertanggungjawab bukan hanya persoalan nafkah duniawi, akan tetapi nasib di akhirat juga merupakan tanggungjawab suami, sehingga tak segan-segan ia mengajari isteri (dan anak-anak) untuk menjadi hamba yang taat kepada Allah swt.
Dalam hal nafkah keluarga, suami yang shalih selalu berusaha memberikan kesenangan dengan rizki yang halal dan baik (thayyib) menurut kemampuannya, dengan selalu berusaha untuk mendapatkan yang halal, menghindarkan dari yang subhat apalagi yang haram. Hal ini sangat urgen karena dengan makanan dan pakaian yang halal akan menentukan sikap, perilaku, akhlak, keimanan dan ketaqwaan seseorang. Dengan rizki yang halal seorang akan dengan mudah menerima hidayah dan menjalankan kebaikan, mudah mendapatkan ilmu dan rahmat dari Allah swt.
Dengan memahami bahwa rizki yang halal merupakan sarana untuk mencapai ridla Allah, bukan untuk bermegah-megahan dan kesenangan dunia yang hanya sementara, suami yang baik tidak akan memberikan pengertian kepada anggota keluarga bahwa dunia yang mereka diami semata-mata untuk menjadi ladang (tempatnya menanam) amal kebjikan, yang akan diperoleh hasilnya ketika sudah memasuki alam akhirat kelak.
Jadi, kewajiban suami terhadap isteri dan akan-anaknya adalah “menyelamatkan” nasib mereka di kahirat dan “membahagiakan” mereka di dunia, dengan segala kesabaran untuk dapat meraihnya.

3.  Memahami  perasaan isterinya
Memahami perasaan isteri merupakan hal yang harus dilakukan oleh suami, karena dua orang yang berbeda ini (pria dan wanita) punya karakter dan keunikan yang berbeda-beda, karena Allah telah menciptakan mereka berdua dengan posisi, hak dan tanggungjawab masing-masing yang berbeda namun seimbang.
Suami dalam pergaulan sehari-hari dengan isteri, harus meresapi dan memahami kebutuhan dasar seorang perempuan yang berbeda dengan laki-laki. Ia tidak mengukur perasaannya sendiri dengan egonya untuk disamakan dengan isterinya, karena hal ini berarti pemaksaan kehendak dimana pikiran, perasaan, selera dan karakter seorang perempuan tidaklah sama dengan laki-laki. Pada umumnya, seorang perempuan lebih peka dan lembut perasaannya, mudah tersentuh sehingga ia mudah untuk mengeluarkan air mata. Berbeda dengan laki-laki yang bisa cuek dan lebih tahan menghadapi apapun yang sedang terjadi, karena memang Allah membebankan laki-laki sebagai penenang dan penenteram  bagi isterinya yang harus bisa menghibur dan memberikan kenyamanan bagi isterinya. Tidak lantas menjadi laki-laki yang cengeng dan menuntut ketaatan kepada isterinya, karena jika suami mampu menjadi sosok idola yang bisa mengayomi isterinya dan mampu menenteramkan jiwanya, dapat menguatkan perasaannya tatkala ia sedang gundah dan sedih, secara sadar isteri akan taat dan mengikuti suaminya.
Suami yang mengerti dan memahami akan perasaan isterinya itulah yang dapat menerangi hidupnya dalam mahligai rumah tangga, sehingga kebahagiaan dalam keluarga tersebut akan terpancar dari seluruh anggota keluarganya.

4.  Selalu berdoa untuk kebaikan keluarga
Menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis merupakan kewajiban suami dan isteri, namun terkadang karena perbedaan persepsi diantara keduanya dapat terjadi perselisihan. Niat baik untuk melaksanakan kebaikan tidak cukup dengan hanya berpikir tentang kebaikannya saja, akan tetapi niat baik untuk melaksanakan kebaikan terhadap orang lain, terutama kepada pasangan masing-masing haruslah dipikirkan caranya dan apa akibatnya. Cara yang bijak harus diperhatikan oleh suami apabila ingin melakukan tindakan dalam keluarga, betapa perbuatan itu baik tetapi jika tidak disertai dengan cara yang bijak dapat menimbulkan masalah. Sebagai contoh seorang suami dengan baik hati membelikan baju yang harganya cukup mahal terhadap isterinya tanpa berunding dahulu dengan harapan akan membuat surprise sehingga membahagiakan isterinya. Tetapi perasaan isteri tidak serta merta sama seperti yang diharapkan suaminya. Secara spontan isteri mungkin akan cemberut karena tidak suka dengan cara seperti itu karena baju yang dibelikan ternyata tidak sesuai dengan selera , apalagi ketika ia menanyakan harganya yang mahal, malah menambah kekecewaannya, karena isteri berharap jika mau membelikan sesuatu dengan sepengetahuannya. Dengan sikap spontan yang kurang sedap, maka suami bias saja kecewa atas tindakan isteri yang tidak mau menghargai usahanya, dan jika masing-masing tidak mempunyai kendali iman, mereka bias bertengkar berkepanjangan, padahal sumbernya adalah kebaikan suami, namun ia tidak memahami selera isteri sehingga cara dan dampaknya tidak disiapkan, termasuk sikap yang harus diantisipasi ada respon negative dari isterinya, bahkan ia terperosok egonya dengan marah dsb.
Namun demikian, hal ini tidak terjadi atau minimal tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan jika keduanya saling mengerti dan saling memafkan. Untuk itu dalam berbagai kesempatan, baik dalam shalat maupun yang lainnya, suami shalih akan selalu berdoa untuk kebaikan keluarganya agar terhindar dari malapetaka dan dapat mengatasi persoalan dalam rumah tangganya. 
Kekuatan doa akan sangat berpengaruh terhadap seseorang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh harap serta penuh tawakkal kepada Allah swt. Dengan doa, menunjukkan bahwa ia memasrahkan segala persoalan hidupnya kepada Allah, Allah-lah yang menjaga dan membimbing manusia untuk menjadi hamba-Nya yang shalih, dan harapan terakhir adalah kita beserta keluarga kelak akan masuk surga-Nya bersama orang-orang shalih. Amien. *** (umar_ab).

Senin, 27 April 2015

Menteri Agama: Pesantren Tetap Eksis Karena Nilai Kepesantrenan

Probolinggo (Pinmas) —- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah  pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag saat memberi taushiyah dalam rangka tasyakuran 2 Windu Pondok Pesantren al-Mashduqiyah, Patokan, Krasan, Probolinggo, Jawa Timur, Jum’at (24/4) sore.
Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa kethawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya. 
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa si santri,” urai Menag panjang lebar.
Pondok Pesantren al-Mashduqiyah didirikan oleh KH Muhlisin Sa’ad yang merupakan salah satu ustadz Menag, saat masih menuntut ilmu di pesantren. Ikut hadir dalam tasyukuran tersebut, para alim dan ulama, Bupati Probolinggo, Kakanwil Kemenag Jawa Timur, Kakankemenag Kabupaten Probolinggo dan Kabag TU Pimpinan (Sesmen) Khoirul Huda. 
Sumber: www.kemenag.go.id