Laman
Teks berjalan
Kamis, 04 Juni 2015
Senin, 25 Mei 2015
Menjadi Suami Idaman dalam Keluarga
Sudah menjadi fitrah manusia bahwa
hidup ini berpasang-pasangan, sebagaimana dinyatakan dalam Al-Qur’an surat
Ar-Rum ayat 21, bahwa diciptakannya setiap diri manusia secara
berpasang-pasangan untuk mencapai ketenangan (sakinah) dalam hidup
mereka. Untuk itu, dalam keluarga yang terdiri dari suami dan isteri serta
anak-anak mereka tak pelak haruslah dijaga keharmonisan dalam bangunan rumah
tangganya agar suasana sejuk, harmonis dan tenteram selalu terwujud dan
dirasakan oleh masing-masing anggota keluarga tersebut. Posisi suami sebagai
seorang pemimpin di dalam keluarga sangat strategis untuk dapat berperan
mewujudkan ‘impian’ rumah tangga ideal tersebut. Berikut ini beberapa hal terkait dengan peran
suami untuk mewujudkan keluarga sakinah.
1. Jadilah suami yang shalih
1. Jadilah suami yang shalih
Suami yang shalih selalu menjadi idaman bagi setiap perempuan
yang shalihah. Menjadi suami yang shalih tidaklah otomatis datang begitu saja,
namun ia hadir menjelma dalam diri seorang pria dengan segala pengetahuan,
pengalaman hidup, sifat dan lingkungannya sehingga ia mampu menjadi seorang
suami yang dapat menjadi sosok wibawa sekaligus tawadlu dalam hidupnya.
Suami yang shalih adalah suami yang selalu taat beribadah
kepada Allah, mengutamakan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya tanpa mengabaikan
hak-hak isteri dan semua anggota keluarganya. Ia menjalankan amalan-amalan
sunnah disamping melaksanakan rukun Islam yang wajib, mencurahkan hidupnya
untuk berjuang di jalan Allah, baik melalui pendidikan agama bagi anak-anak,
generasi muda dan masyarakat secara umum dalam rangka untuk penguatan keimanan
dan ketaatan terhadap agama kepada mereka, maupun dalam hal pemberdayaan masyarakat
dalam bidang positif lainnya yang kesemuanya ia laksanakan sebagai bentuk
penghambaan kepada Allah swt secara ikhlas total tanpa tendensi kepentingan
duniawi apapun.
Menjadi suami yang sibuk dengan kebaikan tanpa mengurangi
hak-hak keluarganya memang sungguh bukan perkara yang mudah, akan tetapi
minimal seorang suami mengerti akan tujuan hidupnya dan pertanggungjawabannya
dihadapan Allah, dan bercita-cita untuk melaksanakannya dengan sungguh-sungguh
disertai dengan panjatan doa penuh harap kepada Allah swt, Sang Khaliq yang
menciptakan segala-galanya dan menentukan nasib hamba-Nya.
2. Mengerti akan kewajibannya
2. Mengerti akan kewajibannya
Kewajiban suami memberikan nafkah lahir dan bathin kepada
isteri dan anak-anaknya serta anggota keluarga lainnya dengan penuh keikhlasan semata-amat
karena Allah swt.
Suami yang shalih akan membimbing isteri dalam hal ketaatan dan
ibadah kepada Allah, karena suami sebagai pemimpian bertanggungjawab bukan
hanya persoalan nafkah duniawi, akan tetapi nasib di akhirat juga merupakan
tanggungjawab suami, sehingga tak segan-segan ia mengajari isteri (dan
anak-anak) untuk menjadi hamba yang taat kepada Allah swt.
Dalam hal nafkah keluarga, suami yang shalih selalu berusaha memberikan
kesenangan dengan rizki yang halal dan baik (thayyib) menurut kemampuannya,
dengan selalu berusaha untuk mendapatkan yang halal, menghindarkan dari yang subhat
apalagi yang haram. Hal ini sangat urgen karena dengan makanan dan pakaian yang
halal akan menentukan sikap, perilaku, akhlak, keimanan dan ketaqwaan
seseorang. Dengan rizki yang halal seorang akan dengan mudah menerima hidayah
dan menjalankan kebaikan, mudah mendapatkan ilmu dan rahmat dari Allah swt.
Dengan memahami bahwa rizki yang halal merupakan sarana untuk
mencapai ridla Allah, bukan untuk bermegah-megahan dan kesenangan dunia yang
hanya sementara, suami yang baik tidak akan memberikan pengertian kepada
anggota keluarga bahwa dunia yang mereka diami semata-mata untuk menjadi ladang
(tempatnya menanam) amal kebjikan, yang akan diperoleh hasilnya ketika sudah
memasuki alam akhirat kelak.
Jadi, kewajiban suami terhadap isteri dan akan-anaknya adalah
“menyelamatkan” nasib mereka di kahirat dan “membahagiakan” mereka di dunia,
dengan segala kesabaran untuk dapat meraihnya.
3. Memahami perasaan isterinya
3. Memahami perasaan isterinya
Memahami perasaan isteri merupakan hal yang harus dilakukan
oleh suami, karena dua orang yang berbeda ini (pria dan wanita) punya karakter
dan keunikan yang berbeda-beda, karena Allah telah menciptakan mereka berdua
dengan posisi, hak dan tanggungjawab masing-masing yang berbeda namun seimbang.
Suami dalam pergaulan sehari-hari dengan isteri, harus
meresapi dan memahami kebutuhan dasar seorang perempuan yang berbeda dengan
laki-laki. Ia tidak mengukur perasaannya sendiri dengan egonya untuk disamakan
dengan isterinya, karena hal ini berarti pemaksaan kehendak dimana pikiran,
perasaan, selera dan karakter seorang perempuan tidaklah sama dengan laki-laki.
Pada umumnya, seorang perempuan lebih peka dan lembut perasaannya, mudah
tersentuh sehingga ia mudah untuk mengeluarkan air mata. Berbeda dengan
laki-laki yang bisa cuek dan lebih tahan menghadapi apapun yang sedang terjadi,
karena memang Allah membebankan laki-laki sebagai penenang dan penenteram bagi isterinya yang harus bisa menghibur dan
memberikan kenyamanan bagi isterinya. Tidak lantas menjadi laki-laki yang
cengeng dan menuntut ketaatan kepada isterinya, karena jika suami mampu menjadi
sosok idola yang bisa mengayomi isterinya dan mampu menenteramkan jiwanya, dapat
menguatkan perasaannya tatkala ia sedang gundah dan sedih, secara sadar isteri
akan taat dan mengikuti suaminya.
Suami yang mengerti dan memahami akan perasaan isterinya
itulah yang dapat menerangi hidupnya dalam mahligai rumah tangga, sehingga
kebahagiaan dalam keluarga tersebut akan terpancar dari seluruh anggota
keluarganya.
4. Selalu berdoa untuk kebaikan keluarga
4. Selalu berdoa untuk kebaikan keluarga
Menciptakan suasana rumah tangga yang harmonis merupakan
kewajiban suami dan isteri, namun terkadang karena perbedaan persepsi diantara
keduanya dapat terjadi perselisihan. Niat baik untuk melaksanakan kebaikan
tidak cukup dengan hanya berpikir tentang kebaikannya saja, akan tetapi niat
baik untuk melaksanakan kebaikan terhadap orang lain, terutama kepada pasangan
masing-masing haruslah dipikirkan caranya dan apa akibatnya. Cara yang bijak
harus diperhatikan oleh suami apabila ingin melakukan tindakan dalam keluarga,
betapa perbuatan itu baik tetapi jika tidak disertai dengan cara yang bijak
dapat menimbulkan masalah. Sebagai contoh seorang suami dengan baik hati
membelikan baju yang harganya cukup mahal terhadap isterinya tanpa berunding dahulu
dengan harapan akan membuat surprise sehingga membahagiakan isterinya. Tetapi
perasaan isteri tidak serta merta sama seperti yang diharapkan suaminya. Secara
spontan isteri mungkin akan cemberut karena tidak suka dengan cara seperti itu
karena baju yang dibelikan ternyata tidak sesuai dengan selera , apalagi ketika
ia menanyakan harganya yang mahal, malah menambah kekecewaannya, karena isteri
berharap jika mau membelikan sesuatu dengan sepengetahuannya. Dengan sikap
spontan yang kurang sedap, maka suami bias saja kecewa atas tindakan isteri
yang tidak mau menghargai usahanya, dan jika masing-masing tidak mempunyai
kendali iman, mereka bias bertengkar berkepanjangan, padahal sumbernya adalah
kebaikan suami, namun ia tidak memahami selera isteri sehingga cara dan
dampaknya tidak disiapkan, termasuk sikap yang harus diantisipasi ada respon negative
dari isterinya, bahkan ia terperosok egonya dengan marah dsb.
Namun demikian, hal ini tidak terjadi atau minimal tidak
menjadi persoalan yang berkepanjangan jika keduanya saling mengerti dan saling
memafkan. Untuk itu dalam berbagai kesempatan, baik dalam shalat maupun yang
lainnya, suami shalih akan selalu berdoa untuk kebaikan keluarganya agar
terhindar dari malapetaka dan dapat mengatasi persoalan dalam rumah tangganya.
Kekuatan doa akan sangat berpengaruh terhadap
seseorang apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh harap serta penuh
tawakkal kepada Allah swt. Dengan doa, menunjukkan bahwa ia memasrahkan segala
persoalan hidupnya kepada Allah, Allah-lah yang menjaga dan membimbing manusia
untuk menjadi hamba-Nya yang shalih, dan harapan terakhir adalah kita beserta
keluarga kelak akan masuk surga-Nya bersama orang-orang shalih. Amien. ***
(umar_ab).
Minggu, 03 Mei 2015
Senin, 27 April 2015
Menteri Agama: Pesantren Tetap Eksis Karena Nilai Kepesantrenan
Probolinggo (Pinmas) —- Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin mengapresiasi kiprah pondok pesantren sebagai jantung pendidikan umat Islam di Indonesia yang tetap eksis di tengah arus globalisasi. Menurutnya, hal itu tidak terlepas dari nilai-nilai yang hidup di dunia pesantren itu sendiri yang menjadi modal utama dalam menghadapi berbagai tantangan, rintangan, dan halangan.
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag saat memberi taushiyah dalam rangka tasyakuran 2 Windu Pondok Pesantren al-Mashduqiyah, Patokan, Krasan, Probolinggo, Jawa Timur, Jum’at (24/4) sore.
Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa kethawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa si santri,” urai Menag panjang lebar.
Pondok Pesantren al-Mashduqiyah didirikan oleh KH Muhlisin Sa’ad yang merupakan salah satu ustadz Menag, saat masih menuntut ilmu di pesantren. Ikut hadir dalam tasyukuran tersebut, para alim dan ulama, Bupati Probolinggo, Kakanwil Kemenag Jawa Timur, Kakankemenag Kabupaten Probolinggo dan Kabag TU Pimpinan (Sesmen) Khoirul Huda.
Sumber: www.kemenag.go.id
“Nilai-nilai tersebut adalah keikhlasan, kesederhanaan, kemandirian, dan kebebasan berpikir terkait keilmuan” tutur Menag saat memberi taushiyah dalam rangka tasyakuran 2 Windu Pondok Pesantren al-Mashduqiyah, Patokan, Krasan, Probolinggo, Jawa Timur, Jum’at (24/4) sore.
Keikhlasan para pengasuh, kiai dan ustadz pesantren, bagi Menag tak ternilai harganya. Hal ini membuat pesantren terus terterangi cahaya. Apalagi keikhlasan tersebut dikuatkan dengan kesederhanaan para pemegang amanah pesantren.
Pesantren juga mandiri dan tidak bergantung. Hal ini yang menjadikan lulusan pesantren mampu dan siap mengerjakan apa pun, karena para santri mempunyai spirit kuat, selain juga jiwa entrepreneurship tinggi, sehingga sedikit yang berkeinginan menjadi pegawai, baik pegawai sipil maupun swasta. “Nilai kemandirian ini sungguh sesuatu yang mahal,” ungkapnya.
Menag melihat, meski para santri mempunyai jiwa kethawadu’an yang tak diragukan, namun di pesantren ada kebebasan dalam berpikir terkait dengan keilmuan. Jadi seorang santri yang menimba ilmu, tidak dibatasi dengan ilmu-ilmu tertentu. “Bebas yang dimaksud adalah bebas dalam artian masih dalam norma-norma dan acuan, bukan bebas dalam kontenks berpikir yang mengarah pada liberalisasi,” jelasnya.
Bebas di sini, tambah Menag, adalah suatu pemahaman, bahwa masing-masing santri, mempunyai tantangannya tersendiri. Karenanya tak jarang seorang santri, dalam menuntut ilmu, sering kali berpindah pesantren, baik karena tuntutan pencarian ilmu ataupun arahan dari pengasuhnya. Selain itu, seorang santri bersamaan dengan keharusannya untuk tetap menghormati ulama, tetap mempunyai ruang untuk berbeda pendapat. “Karena, apa yang disampaikan sang guru, kadang, kurang sesuai dengan masa si santri,” urai Menag panjang lebar.
Pondok Pesantren al-Mashduqiyah didirikan oleh KH Muhlisin Sa’ad yang merupakan salah satu ustadz Menag, saat masih menuntut ilmu di pesantren. Ikut hadir dalam tasyukuran tersebut, para alim dan ulama, Bupati Probolinggo, Kakanwil Kemenag Jawa Timur, Kakankemenag Kabupaten Probolinggo dan Kabag TU Pimpinan (Sesmen) Khoirul Huda.
Sumber: www.kemenag.go.id
Langganan:
Postingan (Atom)